Robbani

Mempersoalkan definisi: Review Buku The Problem of Definition in Islamic Logic

In 1 on November 17, 2008 at 7:25 am

Zainal Abidin Baqir. The Problem of Definition in Islamic Logic: A Study of Abu al-Naja al-Farid’s Kasr al-Mantiq in comparison with Ibn Taimiyyah’s kitab al-Radd ala al-Mantiqiyyin. ISTAC Master’s Theses Series volume I. Kuala Lumpur: ISTAC 1998. pp. ix + 89. General Editor: Sharifah Shifa al-Attas. ISBN: 983-9379-04-6

LATAR BELAKANG
Sebagai sebuah disiplin ilmu, logika, khususnya dan filsafat secara umum, pada mulanya tidak diterima secara bulat oleh para ulama Islam. Karenanya, dalam beberapa penelitian, termasuk karya ini, penamaan logika Islam, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan awal, hanya merujuk pada periode dimana pengembangan logika dilakukan oleh orang Islam atau dalam lingkungan intelektual yang didukung oleh pemerintahan Muslim.
Dalam perkembangannya, logika, dan filsafat pada umumnya, mendapat kritik-kritik dari para ulama. Sifat kritik yang dilancarkan itu sendiri beragam. Ada diantara para pengritik yang menggunakan alasan keagamaan sebagai alasan penolakan terhadap logika, disamping pula terdapat kritik yang dilakukan dengan objektif yang dilakukan justru untuk perkembangan logika itu sendiri.
Kajian tentang kritik terhadap logika jarang ditulis oleh para peneliti dan jikapun ada, penulisannya, pada umumnya lebih menekankan pada aspek sosiologis kritik itu, dalam kaitannya dengan kemunduran kajian saintifik dan filosofis di dunia Islam pada. Seperti yang bisa ditemukan pada karya Ignaz Goldziher The Attitude of Orthodox Islam ‘Ancient Sciences’ yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1915. dka
Karena itu, dalam buku ini, yang pada mulanya merupakan tesis S-2 di ISTAC Malaysia, penulis memilih untuk menganalisis kritik-kritik terhadap logika dengan penekanan pada kandungan kritik itu sendiri.

RUMUSAN MASALAH
Sebagai pendahuluan, penulis mengidentifikasi motif yang melatar belakangi, dan titik-titik utama, kritik terhadap logika. Setidaknya terdapat dua tipe kritik terhadap logika. Pertama, kritik yang yang merupakan penolakan terhadap logika, dan filsafat pada umumnya, dan bersifat relijius. Hal ini didasari oleh kekhawatiran bahwa ilmu ini, yakni logika dan filsafat, pada gilirannya akan menggantikan kedudukan Al-Quran sebagai sumber petunjuk. Kritik semacam ini dilakukan oleh kamu ortodoks, seperti Ibn Taimiyyah dan al-Sirafi, atau mereka yang mendalami logika dan filsafat. Jika argumen golongan pertama kadang dangkal, argumen dari golongan lebih objektif yang bertujuan menunjukkan bahwa sistem logika tidak cukup memadai.
Tipe kedua dari kritik terhadap logika berasal dari ulama yang memiliki kecenderungan filosofis, seperti Fakhr al-Din al-Razi dan Suhrawardi, yang mengembangkan filsafat dengan cara yang berbeda dari para filosof tradisional. Kritikan yang mereka lakukan bersifat objektif dan bertujuan untuk merevisi logika lebih lanjut.
Dari kedua tipologi kritik diatas, buku ini berkonsentrasi terhadap bentuk-bentuk kritik yang bertujuan untuk menolak logika, dan filsafat secara umum. Lebih jauh, dari kritikan yang dilancarkan kelompok pertama, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan definisii adalah sasaran buku ini.
Kajian dalam buku ini adalah kajian teks yang membandingkan karya Abu al-Naja al-Farid Risalat al-Khamsin Mas’alah fi Kasr al-Mantiq dan karya Ibn Taimiyyah Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin yang sudah diringkas oleh al-Suyuti dalam Jahd al-Qarihah. Beberapa bagian yang relevan, yakni dua bagian pertama dari Kasr al-Mantiq, akan diterjemahkan sebagai lampiran. Buku ini juga menganalisis kritik Ibn al-Farid terhadap atas teori definisii para filosof dan membandingkannya dengan kritik Ibn Taimiyyah.
Dalam analisis terhadap kritik-kritik kedua tokoh diatas, buku ini juga menyertakan kritik-kritik dari kelompok kedua, seperti kritik al-Sirafi, Fakhr al-Din al-Razi dan Shihab al-Din Yahya Suhrawardi. Tokoh-tokoh ini dibahas dalam bagian pertama buku ini.

RINGKASAN ISI
Bagi banyak filosof muslim, selain metafisika, logika adalah salah satu cabang filsafat yang mendapat menarik perhatian. Disamping itu, dibanding metafisika, logika bersifat lebih netral dalam hubungannya denan doktrin-doktrin Islam. Setidaknya, begitulah pendapat kebanyakan ahli logika. Logika juga merupakan diantara “ilmu asing” pertama yang ditransfer ke dalam masyarakat Islam, disamping ilmu kedokteran. Pada bagian pertama (h. 7-14), penulis membahas tentang sejarah perkembangan logika dan kritik terhadapnya di dunia Islam. Penulis membagi periode perkembangan logika menjadi tiga bagian; periode penerjemahan, periode munculnya karya orisinal dan sistematisasi ulang, dan perkembangan logika dalam karya-karya teologis.
Periode penerjemahan berlangsung dari abad ke-9 sampai abad ke-13. Penerjemahan logika, bersamaan dengan karya-karya medis, mulai dilakukan beberapa saat setelah penaklukan wilayah yang ditinggali oleh Kristen Syiria. Pada saat itu logika identik dengan Isagoge karya Porphyry dan delapan karya Aristoteles; Catogoriae, De Interpretatione, Analytica priora, Analytica Posteriora, Topica, De sophisticis elenchis, Rhetorica, dan Poetica. Pada akhir abad ke-8 dan permulaan abad ke-9, kesembilan buku standar itu telah diterjemahkan kecuali Analytica posteriora dan Poetica.
Namun yang menandai periode ini adalah terjemahan yang dilakukan oleh Hunain bin Ishaq (809-877). Hal ini karena karya terjemahan sebelumnya mengandung banyak kesalahan fatal yang menyebabkan logika sulit dipahami oleh masyarakat berbahasa Arab saat itu. Pada masa ini sebenarnya telah muncul karya logika yang bukan terjemahan yang ditulis oleh al-Kindi, yang sering disebut sebagai filosof muslim pertama. Tapi karyanya yang tersisa sekarang hanyalah sebuah risalah ringkas yang menjelaskan kandungan delapan buku Organon Aristoteles. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa, dalam karya ini, al-Kindi menggunakan istilah-istilah yang sepenuhnya berbahasa Yunani.
Periode selanjutnya adalah periode karya-karya non-terjemahan dan sistematisasi ulang yang menghasilkan apa yang kemudian disebut sebagai filsafat Islam. Dua filosof pada periode ini adalah Abu Nashr al-Farabi dan Abu Ali Ibn Sina. Keduanya mengelaborasi filsafat yang diterjemahkan dari Yunani kedalam sebuah sistem filsafat yang tidak sepenuhnya identik dengan asalnya. Pada masa sebelumnya, yang dilakukan adalah usaha mentransfer tradisi filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab tanpa usaha untuk sistematisasi dan mengembangkan lebih lanjut.
Ditangan kedua tokoh ini, filsafat Yunani, khususnya logika, dikembangankan lebih lanjut. Al-Farabi berkontribusi dalam membela logika dari serangan para tokoh gramatika; inilah mengapa dalam banyak karyanya al-Farabi banya berbicara tentang persoalan-persoalan yang erat terkait dengan gramatika. Hal penting lainnya yang disumbangkan al-Farabi adalah memperkenalkan logika Aristotelian dengan menggunakan istilah-istilah Arab yang tepat, yang selanjutnya digunakan oleh hampir semua cabang keilmuan dalam tradisi Islam.
Kelanjutan pengembangan logika dilakukan oleh Ibn Sina yang menyistematisasi ulang diskursus logika. Hal ini dapat ditemukan pada karya-karyanya yang muncul kemudian, seperti al-Isharat wa al-Tanbihat, Danish Namah, dan al-Najat. Bahkan istilah-istilah yang digunakan Ibn Sina lah yang kemudian bertahan dalam diskursus logika dalam tradisi Islam sampai hari ini. Hal itu dapat dibuktikan dengan bertahannya terma tasawwur dan tasdiq.
Periode ketiga adalah periode perkembangan logika dalam diskursus teologi. Tergolong dalam periode ini adalah Ibn Hazm, seorang ulama literalis, yang menulis pembelaan terhadap logika dalam karyanya al-Taqrib li Hudud al-Mantiq. Dalam buku ini Ibn Hazm sangat menekankan pentingnya belajar logika, hingga belum mengatakan bahwa tanpa logika seorang ahli hukum tidak dapat berijtihad.
Tokoh yang lebih berpengaruh terhadap perkambangan logika dalam wacana teologis adalah al-Ghazali. Dalam karya polemis terhadap para filosof, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali, yang sangat keras dalam kritiknya dalam bidang metafisika, justru menekankan netralitas dan pentingnya logika untuk dipelajari. Bahkan dia juga menulis satu buku khusus tentang logika, Mi’yar al-‘Ulum. Al-Ghazali memilih, dalam menjelaskan logika, memilih istilah-istilah yang lebih bisa diterima oleh para ulama pada masanya, sehingga bisa lebih diterima oleh mereka yang tidak belajar filsafat sekalipun.
Pentingnya peran al-Ghazali dalam diterimanya logika secara luas dalam wacana teologi Islam juga diakui oleh Ibn Taimiyyah yang menulis: “….tidak diragukan lagi satu-satunya faktor yang paling penting dalam penerimaan logika sebagai ilmu yang berguna dalam pembahasan teologis adalah dukungan al-Ghazali terhadap [pandangan bahwa logika adalah alat standar yang harus dimiliki untuk berpikir tepat, termasuk dalam bidan teologi]….Logika dalam sudut pandang demikian bukan hanya bisa ditoleransi, tapi penting.”
Tokoh penting lain dalam perkembangan logika dalam teologi adalah Fakhr al-Din al-Razi. Karena faktor-faktor penentangan terhadap logika, tulisan-tulisan logika Ibn Hazm dan al-Ghazali lebih bersifat pembelaan. Pada masa al-Razi, logika telah secara sepenuhnya dimanfaatkan dalam diskursus teologis. Hal lain yang perlu dicatat tentang al-Razi adalah bahwa dia mendasarkan logikanya tidak pada terjemahan Yunani, tapi murni pada karya-karya yang murni ditulis oleh orang Arab, khususnya Ibn Sina.
Setelah masa ini bukan berarti kritik terhadap logika terhenti. Sebaliknya, seabad kemudian Ibn Taimiyyah mengritik al-Ghazali karena telah memasukkan unsur-unsur logika ke dalam teologi Islam. Ibn Taimiyyah, yang mengritik filsafat secara umum dan tasawuf yang dipandang telah dipengaruhi filsafat, memandang penyimpangan-penyimpangan dalam filsafat, tasawuf filosofis, dan teologi berasal dari kesalahan metode yang digunakan, yang tidak lain dari logika. Ibn Taimiyyah mengritik dengan sistematis dan mendasar. Tentang hal ini penulis membahas secara khusus dalam bagian keempat buku ini.
Tokoh terakhir yang dibahas dalam bagian ini adalah Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi (1155-1191) yang merupakan filosof ekletis yang menggabungkan tradisi filsafat Peripatetik, filsafat non-Aristotelian, tasawuf, dan kebijaksanaan Persia kuno. Dia tidak menyebut ajarannya sebagai filsafat. Alih-alih, dia lebih memilih menyebutnya sebagai hikmah. Sekalipun ketertarikannya pada logika bersifat insidental, dia membuat beberapa kritik yang menarik khususnya dalam persoalan kategori-kategori dan definisii.
Pada bagian kedua bukunya (h. 15-31), penulis membahas tentang teori definisii dan persoalan terkait dengan mengambil al-Farabi dan Ibn Sina sebagai sampel. Pemilihan dua tokoh ini sebagai representasi filosof muslim dapatlah dipahami, karenanya keduanya merupakan tokoh yang mengintegrasi filsafat, dan logika khususnya, ke dalam masyarakat muslim. Otoritas al-Farabi diakui, misalnya, oleh Maimonides saat memberi saran kepada Ibn Tibbon: “Anda harus mengikuti aturan ini: dalam belajar logika, pelajarilah hanya hal-hal yang telah ditulis oleh orang bijak al-Farabi”. Al-Farabi juga mendapat gelar Guru Kedua (al-mu’allim al-thani) yang menandai signifikansi karya-karyanya dalam logika.
Pilihan terhadap Ibn Sina berdasarkan karya-karyanya dalam metafisika dan logika yang berpengaruh kepada filosof dan teolog muslim sesudahnya. Tidak sekedar berkontribusi terhadap sistem filsafat Yunani, Ibn Sina berusaha untuk menata ulang sehingga yang tampak bukan sekedar filsafat Yunani berbahasa Arab, tapi filsafat Islam. Dalam logika, sistem yang disusun Ibn Sina, dan bukan yang disusun al-Farabi, yang diikuti dalam pengajaran logika dalam dunia Islam.
Pada bagian tentang sistem logika al-Farabi, penulis membahas tentang karya-karya al-Farabi dan persoalan-persoalan materi, definisii, dan struktur logika. Dalam pembagian logika al-Farabi mengikuti urutan delapan karya Aristoteles dan Isagoge karya Porphyry yang dianggap sebagai urutan pengajaran. Disamping itu, al-Farabi juga menulis beberapa karya pendek seperti Fusul Tashtamil ‘ala Jami’ ma Yudtarru ila Ma’rifatihi man Arada al-Shuru’ fi Sina’at al-Mantiq, Risalah Sudira biha al-Kitab, dan al-Alfaz al-Musta’malah fi Sina’at al-Mantiq. Karya-karya pendek ini menjadi sumber utama dalam penulisan bagian ini yang menjelaskan sistem logikanya secara singkat.
Pada buku Isagoge, al-Farabi mendiskusikan “hal-hal yang menyusun proposisi dan yang dibagi.” Al-Farabi juga membuat beberapa pengembangan dari Isagoge karya Porphyry terkait dengan jumlah hal-hal yang universal dan kaitannya dengan definisii. Pada bagian kedua, yang didiskusikan adalah tentang definisii, deskripsi, dan ungkapan lain terkait bentuk-bentuk struktural sebagai sesuatu yang menyusun universal-universal. Pada buku tentang kategori-kategori, al-Farabi mendiskusikan tentang hal-hal rasional sederhana yang dapat dipahami dengan ungkapan sederhana dan ungkapan sederhana yang menunjuk pada hal-hal rasional sederhana. Penjelasan al-Farabi tentang kategori-kategori sama dengan penjelasan Aristoteles yang menjelaskan satu substansi dan sembilan aksiden; jumlah, kualitas, hubungan, waktu, tempat, situasi, keadaan, tindakan, dan perasaan; dan hubungan semuanya. Buku ketiga, de Interpretatione, adalah tentang cara menyususn ungkapan bermakna dari ungkapan yang sederhana, dengan menjelaskan kata benda, kata kerja, dan pernyataan yang merupakan gabungan keduanya. Bagi al-Farabi, ketiga buku diatas berfungsi sebagai pengantar dalam memelajari logika. Baginya, hal terpenting adalah silogisme yang merupakan pembahasan sembilan bukunya dari aspek formal dan material.
Terkait dengan sistem logika Ibn Sina, penulis mendiskusikan tentang tasawwur dan tasdiq sebagai kerangka logika, tujuan dan fungsi logika, dan teori definisii. Sistematisasi yang disusun Ibn Sina dimulai dengan pembagian pengetahuan menjadi konsep (tasawwur) dan putusan (tasdiq). Pembagian ini pada gilirannya menjadi kerangka logika pada masa selanjutnya. Ibn Sina memandang bahwa logika adalah sarana mendapatkan pengetahuan tentang konsep-konsep dan putusan-putusan yang sebelumya tidak diketahui. Hal ini didapatkan melalui penjelasan (qawl sharih)a—untuk konsep—dan argumentasii (hujjah) untuk putusan. Salah satu bentuk penjelasan (qawl sharih) yang paling penting adalah definisi dan deskripsi. Ahli logika menganalisis makna konsep menjadi dua bagian makna: yang pertama adalah jawaban untuk pertanyaan “apa itu?”, dan jawaban untuk pertanyaan “yang mana hal itu?” Sebuah definisi harus mencakup keduanya. Definisi yang benar adalah yang mampu menjelaskan esensi dari sesuatu yang sedang didefinisikan.
Bagian ketiga (h. 33-52), yang merupakan separuh dari inti studi dalam buku ini, membahas tentang problema definisi yang terdapat dalam buku Kasr al-Mantiq. Bagian ini terbagi menjadi tiga, struktur buku yang dibahas, persoalan-persoalan definisi, dan diakhiri dengan analisis. Tentang struktur buku, penulis mendiskusikan tentang informasi umum tentang buku yang dibahas dan penulisnya; dan problema yang dibahas. Buku ini memiliki judul lengkap Kitab al-Khamsin Mas’alah fi Kasr al-Mantiq, dan dipublikasikan pertama kali dalam buku Logic and Language in Islamic Philosophy berdasarkan satu-satunya yang tersedia yang terdapat di British Museum. Informasi tentang penulis buku itu sedikit sekali diketahui. Buku ini terdiri dari persoalan-persoalan yang sangat singkat, berbentuk lima puluh pertanyaan dalam kurang dari lima puluh halaman cetak. Karya ini terbagi menjadi delapan bab yang panjangnya bervariasi. Dari sisi lain, persoalan-persoalan dalam buku ini dapat dibagi menjadi empat bagian: problema definisi (bab 1 dan sebagian bab 2), problema lima hal universal (bab 2 dan 3), problema kategori (bab 4 dan 5), problema proposisi dan silogisme (bab 6, 7, dan 8).
Problema definisi yang merupakan pembahasan bab pertama dan sebagian bab kedua didiskusikan lebih lanjut oleh penulis. Dalam hal ini terdapat empat persoalan; prioritas definisi atas yang didefinisikan (1) ; pendefinisian dan penamaan (2, 4, 6); identitas definisi dan yang didefinisikan (3, 5); dan mendefinisikan hal-hal khusus (7). Dalam analisisnya, penulis, pertama, membicarakan cara yang digunakan ahli logika dalam menjelaskan persoalan yang dikritik terkait dengan definisi. Penulis, mengutip al-Falaturi, mengritik gaya argumentasii al-Farid yang dinilainya dalam hal penarikan kesimpulan. Hal lain yang dikritik adalah usahanya untuk mencampur adukkan definisi atau nama dengan yang didefinisikan dan yang dinamai, atau wilayah bahasa dan wilayah wujud eksternal.
Bagian keempat (h. 53-66), separuh kedua dari pembahasan inti buku ini, membicarakan tentang problema definisi menurut Ibn Taimiyyah. Pendahuluan bagian ini berisi keterangan seputar biografi Ibn Taimiyyah, kelompok yang dikritiknya, kritik terhadap logika dan pilihan buku yang dijadikan dasar kajian. Ibn Taimiyyah yang lahir pada 1263 di Harran tidaklah termasuk filosof dalam pengertian tradisional. Lebih tepat disebut mutakallim, Ibn Taimiyyah mengritik keras al-Ghazali yang memasukkan metode filsafat ke dalam ilmu kalam. Disamping itu, dia juga mengritik aliran tasawuf filosofis yang menggunakan istilah-istilah filsafat dalam menjelaskan pengetahuan yang didapat melalui intuisi. Ibn Taimiyyah melawan ketiga golongan diatas; filosof, mutakallim, dan sufi. Namun perlawanan utama diarahkan terhadap metode filosofis. Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa kesalahan yang mereka lakukan dalam bidang metafisika bisa dilacak dalam logika yang mereka gunakan. Logika bukanlah alat yang netral tapi mengandung nilai-nilai metafisika (metaphysics-laden). Penolakan Ibn Taimiyyah pada logika pada akhirnya ditujukan untuk merobohkan sistem metafisika yang mereka bangun. Dalam pembahasan ini, penulis menggunakan karya al-Suyuti, Jahd al-Qarihah, yang merupakan ringkasan dari karya Ibn Taimiyyah Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, dengan pembuangan tambahan-tambahan yang tidak perlu.
Ibn Taimiyyah melakukan kritik dengan sistematis dengan memilih tema-tema sentral yang dianggap problematik. Dengan membantah tema-tema itu, dia mengharapkan dapat merobohkan bangunan logika dan, selanjutnya, metafisika para filosof. Dalam usaha kritiknya, Ibn Taimiyyah memilih klaim—negatif dan positif—para filosof terkait tasawwur (konsep) dan tasdiq (putusan). Klaim-klaim itu berbunyi: (1) Tidak ada konsep yang bisa dibuat kecuali melalui definisi; (2) Tidak ada putusan yang bisa dibuat kecuali melalui silogisme; (3) Definisi menuntun pada pengetahuan tentang konsep; dan (4) Silogisme menuntun pada pengetahuan (putusan).
Untuk membuktikan kesalahan klaim para filosof, Ibn Taimiyyah berusaha menunjukkan bahwa (1) Ada konsep yang bisa dibuat tanpa definisi; (2) Ada putusan yang bisa dibuat tanpa silogisme; (3) Definisi tidak mesti menuntun pada pengetahuan mengenai konsep; dan (4) Silogisme tidak mesti menuntun pada pengetahuan mengenai keputuan. Secara lebih rinci dalam menolak klaim negatif (1 dan 2), Ibn Taimiyyah mengajukan beberapa argumen. Pertama, tidak ada bukti yang membenarkan klaim para filosof itu, yang seharusnya membutuhkan bukti karena ia bukan aksioma. Kedua, proses pendefinisian menyebabkan pendefinisian tiada akhir. Ketiga, terdapat bukti bahwa konsep dapat dibentuk tanpa definisi. Keempat, terdapat hal-hal yang tidak bisa didefinisikan namun bisa dicerap. Kelima, pengetahuan tentang sesuatu mendahului definisinya. Untuk menolak klaim positif para filosof, Ibn Taimiyyah memaparkan beberapa bukti. Pertama, tidak ada bukti yang membenarkan klaim itu. Kedua, mengetahui konsep mendahului pembentukan definisi. Ketiga, konsep-konsep sederhana tidak bisa didapat melalui intelek. Keempat, pembedaan antara yang esensial dan aksidental bersifat arbitrer.
Kemudian, penulis, dalam analisisnya, memaparkan beberapa argumentasii substansial yang digunakan Ibn Taimiyyah. argumentasii pertama terkait dengan status logis klaim para filosof. Klaim yang disampaikan para filosof termasuk berita yang mengandung kemungkinan benar-salah. Klaim itu juga tidak bisa diobservasi karena ia bukan termasuk benda inderawi. Klaim itu juga tidak didasarkan atas tradisi, seperti yang berita tentang keberadaan Mekkah, Galen, dan Euclid.
Argumen berikutnya yang digunakan Ibn Taimiyyah adalah tentang kebutuhan terhadap konsep-konsep dasar, yang oleh Ibn Sina diistilahkan dengan “sesuatu” (shay’), “yang ada” (mawjud), dan “yang pasti” (daruri) yang mesti dimiliki oleh setiap pikiran yang normal. Untuk menolak hal ini, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa kebenaran aksiomatis berbeda-beda antara satu dan lain orang. Satu hal yang aksiomatis bagi seseorang mungkin, bagi orang lain, adalah hal yang harus dicapai melalui definisi.
Persoalan ketiga yang menjadi argumentasi Ibn Taimiyyah adalah persoalan definisi secara epistemologis dan ontologis. Para filosof berpandangan bahwa terdapat tiga tingkat realitas; eksternal, rasional, dan bahasa. Bagi Ibn Sina, eksistensi hanya ada dua, yakni eksternal dan mental. Sedangkan bahasa hanyalah alat untuk mengomunikasikan realitas mental ke dalam dunia eksternal. Dalam skema demikian bahasa tidaklah memiliki status ontologis. Karenanya, tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa realitas rasional, yang berada dalam mental, tergantung pada kata-kata. Namun klaim ahli logika bahwa “Tidak ada konsep yang bisa dibentuk kecuali melalui definisi” berarti bahwa konsep-konsep dipahami melalui sarana kata-kata; jadi, Ibn Taimiyyah menyimpulkan, konsep tergantung pada bahasa yang secara ontologis lebih rendah.

KESIMPULAN
Pada bagian terakhir, penulis menyimpulkan beberapa hal. Bila kritik al-Farid bersifat logiko-linguistik, kritik Ibn Taimiyyah bersifat, terutama, epistemologis. Disamping itu kritik yang disampaikan Ibn Taimiyyah lebih substansial daripada kritik al-Farid, sekalipun motif keduanya mungkin sama. Penolakan Ibn Taimiyyah terhadap logika dimaksudkan untuk meruntuhkan dasar-dasar filosofis, yakni logika. Penolakan ini berlanjut pula dengan penolakan terhadap penolakan terhadap setiap kecenderungan filosofis dalam beberapa kelompok, seperti tasawuf falsafi.
Usaha-usaha penolakan terhadap logika yang dilakukan al-Farid dan Ibn Taimiyyah memiliki beberapa poin-poin penting. Apakah kritik-kritik ini berpengaruh, selanjutnya, pada perkembangan sejarah logika masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Tapi setidaknya, usaha ini telah mengharuskan para filosof untuk memertimbangkan kembali klaim mereka bahwa setiap yang kesimpulan yang dihasilkan melalui logika adalah pasti benar karena dibangun diatas apa yang dinamakan “hal-hal yang pasti.” Alih-alih, mereka harus menjadikannya sebagai teori-teori yang mungkin dikritik.

REVIEW
Diantara yang bisa dijadikan kritik terhadap buku ini adalah pilihan sumber kajian. Pilihan terhadap ringkasan al-Suyuti, alih-alih karya asli Ibn Taimiyyah, adalah kurang tepat. Lebih jauh lagi, karya Ibn Taimiyyah tentang akal tidak hanya Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin. Masih terdapat karya lain seperti Naqdh al-Mantiq dan Dar’ Ta’arudl al-Aql wa al-Naql. Pilihan penulis barangkali didorong oleh keberhasilan al-Suyuti dalam meringkas esensi kritik Ibn Taimiyyah dengan hanya mencatat hal-hal yang penting saja.
Pada bagian sisipan, penulis menerjemahkan bagian pertama dan kedua dari kitab Kasr al-Mantiq. Sumbangan yang dilakukan buku ini diantaranya menunjukkan dinamika diskursus filosofis yang tidak hanya diikuti oleh para filosof by profession. WaLlahu a’lam.

Tinggalkan komentar